Setiap tanggal 10 Desember Stockholm menjadi perhatian dunia. Di kota yang  dingin tersebut, puluhan ilmuwan kelas dunia berkumpul untuk menyaksikan  pemberian hadiah Nobel kepada para ilmuwan yang dinggap telah berjasa memberikan  kontribusi penting dalam perkembangan sains. Setiap penerima hadiah Nobel tidak  hanya mendapat imbalan finansial yang besar, tetapi juga tercatat namanya dalam  sejarah dunia sains. Tidak heran jika para ilmuwan dunia berlomba-lomba agar  dapat masuk dalam catatan sejarah bergengsi tersebut. Sejak pertama kali  diselenggarakan pada tahun 1901, Nobel telah menjadi ajang kompetisi sains yang  keras dan tidak jarang penuh intrik.
Nobel memang menggiurkan karena  memberi nama harum tidak hanya bagi penerimanya, tapi juga bagi negara asal  pemenang hadiah tersebut. Telah lama para ilmuwan Indonesia memimpikan munculnya  pemenang Nobel asal Indonesia. Perguruan tinggi seperti ITB secara diam-diam  memiliki ambisi untuk melahirkan pemenang Nobel.
Upaya untuk mendapatkan  Nobel juga dilakukan beberapa ilmuwan tanah air lewat berbagai cara. Bahkan ada  yang mentargetkan hadiah Nobel pada tahun 2020. Dengan mengikuti berbagai  olimpiade sains, mereka mengharapkan akan muncul bibit-bibit unggul ilmuwan  Indonesia yang berkiprah dalam tingkat dunia.
Ambisi untuk mendapatkan  hadiah Nobel didasarkan pada asumsi sekaligus harapan bahwa pemberian Nobel bagi  ilmuwan Indonesia akan berdampak pada perkembangan sains di tanah air. Pandangan  ini menurut saya salah kaprah. Nobel bukanlah sebab, melainkan akibat.  Berhasilnya seorang ilmuwan mendapatkan Nobel adalah hasil dari bekerjanya  institusi sains di mana ilmuwan itu berada.
Nobel bukan penghargaan yang  diberikan seperti lomba balap karung. Artinya yang dinilai bukanlah karya yang  dihasilkan semalam suntuk, melainkan melalui proses evaluasi atas seluruh hasil  kerja sang ilmuwan dan dampaknya terhadap bidang yang digelutinya. Tidak heran  jika penerima Nobel pada umumnya ilmuwan yang telah berkecimpung pada satu  bidang tertentu selama puluhan tahun.
Dengan kata lain, karya yang  berkualitas Nobel sangat tergantung pada proses berkarya sang ilmuwan. Di sini  dapat dilihat bahwa sistem atau institusi sains di mana ilmuwan itu berada  sangat berpengaruh dalam menentukan apakah seseorang ilmuwan mampu menghasilkan  karya berkualitas Nobel atau tidak.
Mentargetkan hadiah Nobel memang  tidak salah. Tetapi mungkin ini kedengaran sedikit lucu karena Amerika Serikat  yang merupakan negara penerima hadiah Nobel terbanyak tidak pernah membuat  target semacam itu. Bahkan perguruan tinggi ternama seperti MIT, Harvard, maupun  Caltech tidak memiliki program khusus mendapatkan Nobel. Mereka banyak memiliki  professor penerima Nobel karena sistem insentif dan kondisi yang kondusif yang  dinikmati para peneliti di situ. Tidak jarang ilmuwan penerima Nobel justru  tadinya bekerja di perguruan tinggi lain lalu pindah (tepatnya dibajak) ke salah  satu perguruan tinggi ternama tersebut.
Siapapun akan bangga jika  seorang ilmuwan Indonesia berhasil mendapatkan hadiah bergengsi tersebut. Tetapi  ambisi mendapatkan hadiah Nobel hanya membelokkan kita dari realitas di mana  yang perlu dibenahi terlebih dahulu adalah institusi sains itu sendiri. Sejenius  apapun seorang ilmuwan jika dia berada pada sistem yang tidak kondusif maka  Nobel hanyalah sebuah impian.
Karena itu akan jauh lebih penting jika  perhatian terhadap sains di tanah air difokuskan tidak pada ambisi prestisius  tetapi pada persoalan bagaimana institusi sains kita dapat bekerja baik dan  memberikan kontribusi langsung bagi masyarakat.
Berbagai permasalahan  ekonomi, sosial, dan kesehatan yang dihadapi Indonesia saat ini membutuhkan  perhatian serius dari para ilmuwan kita. Dibutuhkan kesadaran para ilmuwan kita  untuk mau berpikir secara pragmatis agar institusi sains kita mampu memberikan  manfaat langsung bagi masyarakat luas. Bisa jadi inilah jalan yang paling tepat  bagi ilmuwan Indonesia menuju Stockholm.


